Friday, January 7, 2011

Pantai Cinta

Kupacu sepeda motorku membelah jalan yang berdebu. Panasnya Pantai Tanjung Baru terasa menyengat di kepala dan badanku. Aroma amis pantaipun terasa menyengat kehidungku. Perlahan terlihat ombak dan garis pantai utara jawa menghadang didepanku. Deretan perahu nelayan di kejauhan tampak terombang-ambing dimainkan ombak.

Saat memasuki pantai yang berpasir aku menghentikan laju sepeda motor cb 100 ku. Dan aku angkat handphoneku. Kutekan beberapa nomor. Terdengar nada sambung pribadi dengan lagu band terkenal, Ungu, Kekasih Gelapku. Tak lama terangkat dan ada suara perempuan menyambut diujung handphoneku.

"Ya, Jay?
"Posisi teh yayah dimana?" tanyaku diantara deru ombak yang serasa sedikit mengganggu.
"Digubug ke empat dari warung warna biru dekat pohon"
"Ok." lalu aku matikan handphoneku.

Dikejauhan aku lihat warung yang dimaksud. Dengan tergesa segera aku menuju kesana. Setelah melewati warung biru aku menuju gubug yang dimaksud oleh Teh Yayah.

Pantai nampak sepi. Hanya ada beberapa pasang sejoli yang asyik dalam dunianya sendiri. Aku hanya tersenyum dalam hati. Karena sebentar lagipun aku akan bermain dengan duniaku sendiri.

Teh Yayah adalah kenalanku waktu aku tugas dinas dari kantor. Dia adalah anak dari debitur yang telah kabur. Katanya sih minggat ke Sumatera. Teh Yayah sendiri adalah anak pertama yang sudah tiga kali menjanda. Pernikahan pertama dan kedua kandas karena suami yang tidak bertanggung jawab. Yang hanya mokondo mengawininya. Dan, itupun hanya mengenakan bagi mereka tidak bagi Teh Yayah yang secara bathin kurang terpuaskan. Pun dengan perkawinannnya yang ketiga. Hampir setiap malam hanya bantal guling dan anaknya perempuannya yang berumur 3 tahun yang dipeluknya. Sementara suaminya kalau tidak mendengkur dikamar sebelah ya melayap tak tentu arah.

Berawal dari sms-an soal urusan kedinasan hingga urusan hati, akhirnya aku pun kenal Teh Yayah makin dekat. Hingga akhirnya sekarang aku putuskan untuk menemuinya di Pantai Tanjung Baru, Karawang.

Aku matikan sepeda motor kesayanganku tepat di samping mio merah yang aku tahu sudah sedari tadi parkir.

Teh Yayah berdiri di dalam gubug. Matanya kosong memandang kekejauhan. Lepas ke ujung garis cakrawala. Rambut hitamnya tergerai tertiup angin pantai.

Aku merapat disampingnya. "Maaf lama menunggu..." kataku pelan di telinganya. Dia hanya tesenyum sambil matanya terpejam seakan menikmati hembusan angin yang memang terasa menidurkan.

"Sejak aku pertama melihat kamu, aku gak bisa menghilangkan wajahmu dari pikiranku." katanya membuka obrolan lalu merbahkan kepalanya dibahuku. Wangi kas rambutnya terasa menyentuh hidungku hingga menaikkan darahku.
"Memang apa yang Teteh pikirkan tentang aku?"
"Banyak. Aku kerap berkhayal tentang kamu. Kamu yang bisa memberiku kebahagian meski aku tak bisa memiliki kamu."
Senyap. Aku hanya diam mencerna kalimatnya. Terasa menyentuh kerelung hatiku yang terdalam.
Dengan sadar aku bergeser. Tepat ada dibelakangnya dan kemudian aku peluk tubuhnya dari belakang. Aku puaskan hidungku untuk menciumi rambutnya. Perlahan dia menoleh kebelakang dengan mulut yang terbuka. Seketika aku menyambutnya dengan pagutan bibir. Aku merasakan ada dahaga di bibirnya. Kuluman bibirnya terasa liar di bibir dalamku. Hingga ujung lidahku pun digigitnya.
"Sakit, sayang" kataku.
Dia hanya tersenyum.
"Kamu adalah oaseku" ucapnya lirih.
Kemudian aku pun kembali memagut bibirnya dengan tak Tanganku mulai mengikuti irama gairah yang tercipta seketika itu. Tanganku merayap pelan dari balik blusnya. Dia pun menggeliat manja yang membuatku semakin berontak untuk menyentuh buah dadanya. Tanpa melepas bra yang dipakainya aku meremas buah dadanya yang masih kenyal itu dan puting susu yang tegak tertahan. “Akh….." Desahnya pelan.
Tangan teh Yayah mulai merayap disekelanganku meraih penisku yang menegang. Nakal tanganya melepas retseleting celana jinsku kemudian mencoba melepaskan penisku dari celana dalamku. Susah payah akhirnya peniskupun bisa menyembul keluar dari balik celana jinsku.
Secepat itu mulai Teh Yayah berbalik dan jongkok tepat di penisku. Dengan bibirnya diciuimnya penisku dengan penuh nafsu. Hingga nafasnya yang tersengal dan rambutnya bergoyang mengimbangi kepalanya yang maju mundur dipenisku.
“Enak sayangku….” Erangku.
Aku mencoba tetap terus memandang ke laut lepas untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang. Disana jauh dibatas cakrawala tampak perahu nelayan teombang-ambing dimainkan ombak laut utara jawa yang tidak begitu ganas. Aku pun disini, di pantai ini, terombang-ambing dimainkan bibir dan lidah Teh Yayah yang mengulum penisku.
Hari semakin senja.
Teh Yayah kembali membelakangiku sembari mengangkat rok panjang warna hitamnya hingga terlihat gumpalan pantat putih terbalut celana dalam warna pink yang begitu menggoda. Aku tahu maksudnya.
Aku berjongkok dibelakangnya. Aku turunkan celana dalam warna pink itu kemudian aku remas pantatnya yang putih padat itu. Aku makin kesetanan. Sangat tergesa dan nafsu ketika melihat pemandangan indah vaginanya dari belakang yang merekah dengan ditumbuhi rambut keriting yang halus. Aku cucup klitorisnya.
“Hemmmmmmh….” Desahnya sembari tanganya menahan ditepian jendela gubug yang terbuat dari bambu. Sekilas aku melihat Teh Yayah berusaha untuk bersikap normal dengan memandang ke pantai meski aku tahunya nafsunya menderu bagai ombak itu.
“Terussssssssssss…..akh…akh…akh….”
“Aow……….huh…huh…” jeritnya tertahan.
Aku makin ganas memainkan bibir dan lidahku di vaginanya yang mulai basah.
“Mmmmm..enak Jay…..”
“Beberapa kali aku merasa menelan cairan vaginanya dan beberapa kali dia mengejang tanda puncak gairahnya tertumpah ruah.
Aku berdiri dengan penisku yang makin memerah dan tegang.
“Kamu pintar Jay…”
“Thank, Yayahku…”
“Masukin penismu doooong….” Rayunya dengan bibirnya tersenyum ditambah kerling matanya yang menggoda.
“Pasti Sayang…”
Dengan posisi membelakanginya aku mulai memasukan penisku kedalam liang vaginanya dari sela-sela pantantnya yang menungging.
“Okhhhhhhh….” Jeritnya.
“Akh….” Tak kalah sengit aku mengimbangi jeritan kecilnya. Penisku mulai bermain di vaginanya yang terasa bagai lumpur hisap menyedot penisku hingga yang liang paling dalam menyentuh mulut rahimnya.
Aku makin ganas memainkan pantatku maju mundur sementara Teh Yayah makin tenggelam dalam kenikmatannya hingga dirinya tak lagi mampu menguasai pandangannya. Pandangan matanya tak lagi melihat laut lepas namun tertunduk dengan sedkit terpejam.
Mulutnya terbuka dengan desahan dari tenggorokannya yang tak bisa dikuasainya. Tanganku melintir puting susunya dari balik blusnya yang tak sempat aku cucup itu karena kondisi situasi yang kurang kondusif
“Akh…..ough…ough…” kembali tubuhnya mengejang keras menahan puncak gairahnya. Kejang tubunya makin membuat vaginanya ikut mengejang dan seolah makin menjepit penisku.
“Terus Teh…….jepit…..teh…teh… ..” erangku tak karuan. Aku tidak mampu menguasai keadaan. Denyut nadi penisku makin kencang seiring dengan akan keluarnya pejuhku.
Begitu pun Teh Yayah makin menjerit tak karuan. “Aow…oh..oh…ouhwhhkkkk…!!!”
“Aku mau keluar…teh… “ erangku.
“Teh……Akhg..!!!! Membludak semua tenaga yang ada. Aku hunjamkan penisku dalam-dalam di liang vaginanya. Menggumpal seluruh tenaga membentuk cairan pejuh yang membasahi liang vaginanya.
Langit makin memerah. Semerah wajahnya yang membias pias dalam rasa bahagia.
Aku memagut bibirnya. Kenangan yang tiada duanya telah aku torehkan dipantai ini. Disaksikan pasir dan debur ombak.
Aku melihat mio merah itu makin jauh dijalanan pantai yang berdebu meninggalkan aku digubug ini yang siap-siap pula untuk meninggalkan sisa pejuhku yang tertumpah keluar. 

No comments:

Post a Comment